R. Soeprapto: Keteguhan Seorang Prajurit yang Tak Banyak Bicara
Kadang, pahlawan itu bukan mereka yang paling lantang bersuara. Bukan pula yang namanya selalu terpampang di halaman depan buku sejarah. Seringkali, pahlawan justru hadir dalam sosok yang sederhana, pendiam, dan hanya dikenal lewat pengabdian yang ia jalani tanpa pamrih.
Begitulah Raden Soeprapto, seorang prajurit kelahiran Purwokerto, 20 Juni 1920, yang hidupnya tidak dipenuhi sorotan, namun penuh makna. Sosok yang tak banyak bicara, tapi seluruh hidupnya adalah bentuk pengabdian yang diam-diam meninggalkan jejak besar.
Awal Kehidupan: Sederhana, Tapi Penuh Prinsip
Soeprapto tumbuh dalam keluarga yang menjunjung pendidikan dan nilai. Ia menempuh sekolah menengah di Yogyakarta dan melanjutkan ke akademi militer elite di Bandung. Meski pendidikannya terputus akibat penjajahan Jepang, ia tidak menyerah dan justru tetap aktif mengikuti pelatihan semi-militer, sebagai wujud keteguhan dan kesiapan menghadapi situasi bangsa yang genting.
Mengabdi Lewat Medan Tugas
Usai kemerdekaan, Soeprapto turut melucuti senjata tentara Jepang dan bergabung dengan TKR, cikal bakal TNI. Kariernya naik perlahan tapi pasti, hingga dipercaya menjadi ajudan Jenderal Sudirman, tanda bahwa ia pribadi yang kuat dan terpercaya. Ia ikut bertempur di Ambarawa dan memegang berbagai posisi penting, termasuk Wakil Panglima KOSTRAD. Meski berpangkat tinggi, ia tetap sederhana, tak suka sorotan, dan selalu dekat dengan bawahannya. Dirinya adalah pribadi yang sedikit bicara, tapi setiap ucapannya punya arti.
Gaya Kepemimpinan yang Kalem Tapi Tegas
Soeprapto bukan tipe pemimpin yang keras suara atau mengandalkan jabatan. Justru lewat ketenangannya, ia dihormati. Ia lebih sering mendengar daripada berbicara, tapi dalam setiap keputusan, ia selalu berpihak pada kebenaran. Sosoknya jadi bukti bahwa kepemimpinan sejati tak selalu bersuara keras, kadang justru yang lembutlah yang paling menggerakkan.
Tragedi Oktober 1965
Pada malam kelam 1 Oktober 1965, Soeprapto diculik oleh pasukan G30S dari rumahnya. Ia tak melawan, ia memilih patuh sebagai seorang prajurit, meski mungkin tahu ada yang tak beres. Ia dibawa ke Lubang Buaya dan dieksekusi bersama enam jenderal lainnya. Tanpa sempat membela diri, ia gugur sebagai prajurit yang setia sampai akhir.
Warisan dari Sosok yang Tidak Pernah Minta Dikenang
Ia dianugerahi gelar Letnan Jenderal TNI (anumerta) dan dikenang sebagai salah satu Pahlawan Revolusi. Tapi lebih dari itu, ia meninggalkan warisan nilai—tentang keteguhan tanpa suara, keberanian tanpa sorotan, dan kesetiaan yang tulus.
Seperti pepatah, “Air tenang menghanyutkan,”
Dan R. Soeprapto adalah air tenang itu—yang diam-diam membawa pengaruh besar, dan hingga kini masih menghanyutkan hati kita dalam pelajaran tentang arti keberanian, kejujuran, dan ketulusan.
Semoga tulisan ini jadi pengingat bahwa sejarah bukan hanya tentang nama besar, tapi juga tentang orang-orang baik yang bekerja dalam diam.
Pewarta : Faizarizka